Di sebuah desa kecil bernama Cahaya Senja, hiduplah seorang anak bernama Awan. Ia baru berusia sepuluh tahun dan untuk pertama kalinya bertekad menjalankan puasa Ramadhan penuh seperti kedua orang tuanya.
Hari pertama terasa begitu berat. Saat matahari mulai naik, Awan merasa haus dan lapar. Ia melihat teman-temannya yang lebih kecil masih makan dan minum, membuatnya tergoda untuk ikut. Namun, ia teringat pesan ibunya, "Puasa itu bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga belajar bersabar dan berbagi."
Menjelang siang, Awan mengalihkan pikirannya dengan membantu kakek Rahman, seorang penjual kurma di pasar. Kakek Rahman sudah tua dan sering kesulitan membawa dagangannya. Dengan penuh semangat, Awan membantu menata kurma dan melayani pembeli.
Ketika sore menjelang, Awan pulang dengan hati lega. Ia tak hanya berhasil menahan lapar, tetapi juga mendapatkan pelajaran berharga: membantu orang lain bisa membuat waktu terasa lebih ringan.
Saat adzan maghrib berkumandang, Awan merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Ia berbuka dengan kurma dan segelas air, seperti yang dilakukan Rasulullah. Ayahnya tersenyum bangga, "Kamu hebat, Nak. Hari ini kamu bukan hanya berpuasa, tapi juga belajar makna sebenarnya dari Ramadhan."
Sejak hari itu, Awan menjalani Ramadhan dengan penuh semangat. Ia sadar bahwa Ramadhan bukan hanya tentang menahan diri, tetapi juga tentang berbagi, bersyukur, dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Ramadhan pun berlalu, meninggalkan jejak kebaikan di hati Awan. Ia berjanji, meski bulan suci itu akan pergi, kebiasaan baiknya akan tetap ia lakukan sepanjang tahun.
Dan begitulah, di desa Cahaya Senja, seorang anak kecil belajar bahwa Ramadhan adalah bulan keajaiban yang tidak hanya mengubah harinya, tetapi juga hatinya